Tahun 2015 Ada 5000 kasus Perdagangan Satwa liar dan 370 Kasus Perburuan Satwa Liar

Tahun 2015 merupakan tahun yang cukup 'panas' bagi usaha pelestarian dan perlindungan satwa liar di Indonesia. Bukan hanya disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan yang melanda seluruh wilayah di Indoensia, tetapi juga karena maraknya perdagangan dan perburuan satwa dilindungi.

Protection of Forest & Fauna (PROFAUNA) Indonesia mencatat bahwa sejak bulan Januari hingga pertengahan Desember 2015 terdapat setidaknya ada sekitar 5.000 kasus perdagangan satwa liar secara online, salah satunya lewat media sosial Facebook. Jumlah satwa liar yang diperdagangkan secara online itu meningkat cukup banyak dibandingkan dengan data tahun 2014, dimana sedikitnya ada 3.640 iklan di media sosial yang menawarkan berbagai jenis satwa liar. 

Laju dan volume perdagangan di media sosial dapat menjadi sedemikian tinggi karena sangat mudah bagi pengguna untuk mengunggah penawaran satwa, berjejaring tanpa batas, dan dengan tingkat keamanan yang lebih tinggi dibanding perdagangan secara konvensional.

Tren perdagangan satwa liar yang dilindungi dalam 5 tahun terakhir didominasi oleh perdangan secara online. Perdagangan satwa langka secara konvensional di pasar-pasar burung semakin jarang, meskipun di beberapa pasar burung masih ditemukan pedagang yang menawarkan dilindungi dalam jumlah kecil.

Kasus perdagangan dan perburuan satwa liar yang dimuat di media massa juga masih tinggi. Tahun 2015, PROFAUNA mencatat sedikitnya ada  67 kasus perdagangan satwa liar dan 16 kasus perburuan satwa liar yang dimuat di media massa. 

Meskipun jumlahnya menurun jika dibandingkan dengan catatan tahun 2014 (78 kasus) tapi jika ditilik dari volume kasusnya, maka akan terlihat bahwa pada tahun 2015 terdapat lebih banyak kasus bervolume tinggi, yaitu melibatkan jumlah satwa liar atau produknya dalam jumlah dan nilai besar. Contoh dari beberapa kasus dengan volume mencengangkan tersebut antara lain:

  • Perdagangan 96 ekor trenggiling hidup, 5.000 kg daging trenggiling beku, dan 77 kg sisik trenggiling yang terungkap di Medan pada bulan April 2015
  • Penyelundupan 10 kg insang Ikan Pari Manta, 4 karung berisi campuran tulang ikan hiu dan ikan pari manta, 2 karung tulang ikan Hiu dan 4 buah sirip Hiu di Flores Timur pada bulan Juli 2015
  • Penyelundupan 1 kontainer 40 feet Cangkang Kerang Kepala Kambing senilai Rp 20,422 miliar pada bulan Agustus 2015 di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Barang illegal itu rencananya akan diekspor ke Cina.

Dari segi jenis satwa yang diperdagangkan sebanyak  17 kasus (25%) kasus melibatkan satwa laut (penyu, pari, hiu, dan lainnya). Kelompok satwa lain yang tingkat perdagangannya tinggi adalah jenis kucing besar (harimau, kucing hutan, dan lain-lain) sebanyak 16 kasus (24%), burung paruh bengkok  12 kasus (18%), primata 11 kasus (16%), dan berbagai jenis burung berkicau ada 10 kasus (15%).

Kemudian, dari pemetaan data kasus tersebut didapati provinsi dengan jumlah kasus perdagangan satwa liar terbanyak adalah Jawa Timur (16 kasus), disusul oleh Jawa Barat (7 kasus) dan Bali (5 kasus). Jawa Timur menjadi provinsi peringkat pertama dalam jumlah perdagangan satwa liar antara lain karena masih memiliki banyak hutan tempat asal satwa liar yang ditangkap dan diperdagangkan.

Posisi jawa Timur juga strategis sebagai penghubung jalur perdagangan antara Indonesia bagian Timur dan Barat baik melalui jalur laut maupun udara. Selain itu, Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Jawa berpotensi sebagai pasar yang potensial bagi perdagangan satwa liar.

Kasus Perburuan Satwa liar

Kasus perburuan satwa liar di tahun 2015 cenderung semakin tinggi. Di wilayah Jawa Timur saja, PROFAUNA mencatat sedikitnya ada 370 kasus perburuan satwa liar. Ironisnya, perburuan satwa liar itu justru banyak terjadi di hutan lindung dan kawasan konservasi alam.

Beberapa kawasan konservasi alam di Jawa timur yang rawan terjadinya perburuan satwa liar antara lain Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Taman Hutan Raya R Soerjo, Taman Nasional Bakuran, Taman Nasional Merubetiri, Hutan skeitar Gunung Ijen, Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Yang. Gunung Arjuna dan Gunung Kawi.

Tahun 2015 saja, PROFAUNA Indonesia menerima hampir 200 pengaduan dari masyarakat tentang adanya perburuan satwa liar. Lebih dari 90% pengaduan itu terkait dengan foto yang diunggah di media sosial, yang menampilkan pemburu beserta mangsa dan senjatanya.

Total terdapat 15 kasus yang dilaporkan ke PROFAUNA melalui email, SMS center, maupun telepon. Di antara 15 kasus yang ditindaklanjuti oleh PROFAUNA itu, terdapat 4 kasus yang kemudian diproses hukum oleh aparat, yaitu:

  • Kasus pembantaian kucing hutan yang fotonya diunggah ke Facebook oleh akun Ida Tri Susanti yang berdomisili di Jember, Jawa Timur
  • Kasus pembantaian beruang madu yang dikuliti, dan fotonya diunggah ke Facebook oleh akun Ronal Cristoper Ronal di Kalimantan Timur
  • Kasus pembunuhan Harimau Sumatera yang foto-fotonya diunggah ke Facebook oleh akun Manullang Aldosutomo dari Sumatera Utara
  •  Kasus pembunuhan dan pembakaran primata yang fotonya diunggah ke Facebook oleh akun Polo Panitia Hari Kiamat yang berdomisili di Kalimantan Tengah

Sayangnya, dari keempat kasus itu belum ada yang maju ke meja hijau, apalagi dijatuhi hukuman. Dalam pernyataannya kepada media massa, ketua PROFAUNA Indonesia, Rosek Nursahid menyatakan bahwa mahasiswa dan anak muda adalah generasi terdidik tetapi mereka justru menunjukkan perilaku yang tidak beretika dalam menyayangi satwa. Rosek menilai bahwa generasi muda saat ini minim budi pekerti terlebih tentang cara mencintai alam dan lingkungan.

Penegakan Hukum Yang Masih Lemah

Setidaknya terdapat 6 vonis yang dijatuhkan kepada pelaku  perdagangan satwa liar, dengan rentang hukuman penjara antara 6 bulan hingga 2 tahun, dan denda antara Rp 500 ribu hingga 50 juta. Vonis terberat diterima oleh terdakwa pelaku perdagangan tiga ekor orangutan, dua ekor elang bondol, satu ekor burung kuau raja, dan satu awetan macan dahan, yang dihukum penjara 2 tahun dan denda Rp 50 juta subsider 3 bulan penjara oleh PN Langsa pada bulan November 2015.

Sayangnya secara umum vonis terhadap pelaku perdagangan satwa iar yang dilindungi itu masih sangat rendah. Contoh kasus rendahnya vonis itu adalah kasus penyelundup satwa antar negara, Basuki Ongko Raharjo.

Majelis Hakim yang diketuai Ferdinandus di Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan hukuman sangat ringan terhadap pelaku yaitu pidana penjara enam bulan, dengan masa percobaan satu tahun penjara pada tanggal 17 Juni 2015.

Basuki Ongko Raharjo, warga kota Malang itu dinyatakan terbukti bersalah melanggar UU nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Sayangnya meski nyata-nyata melanggar hukum, terdakwa divonis ringan oleh hakim. Ini tidak beda jauh dengan tuntutan jaksa yang hanya menuntut Basuki Ongko Raharjo dengan hukuman percobaan.

Padahal Kejahatan satwa liar yang dilakukan Basuki Ongko Raharjo sangat memprihatikan kelestarian satwa liar Indonesia. Dari tangan Basuki, petugas polisi menyita seekor opsetan penyu, kucing hutan, kerangka kancil, kepala rusa, 85 kerangka paruh merah burung cekakak, 100 kepala paruh merah cekakak, 30 kerangka cekakak 90 kepala paruh hitam cekakak, 63 bulu merak, 5 kerang terompet dan 9 sigung.

© 2003 - 2024 ProFauna Indonesia

ProFauna Indonesia (Temukan kami di Google+) adalah lembaga independen non profit berjaringan internasional
yang bergerak dibidang perlindungan dan pelestarian satwa liar dan habitatnya.