Catatan PROFAUNA 2016: Hukum Belum Berpihak Terhadap Perlindungan Satwa Liar Indonesia
Tahun 2016 telah tiba di penghujungnya. Sepanjang tahun ini, kehidupan negara kita banyak diwarnai oleh isu-isu yang bergolak. Tak luput dari pergolakan tentunya adalah isu perlindungan hutan dan satwa liar, yang telah menjadi salah satu fokus perhatian organisasi Protection of Forest & Fauna (PROFAUNA) sejak tahun 1994.
Tahun lalu, negara kita jadi sorotan dunia akibat bencana kebakaran hutan yang dampaknya dirasakan hingga ke beberapa negara tetangga. Syukurlah tahun ini kebakaran hutan tak seliar sebelumnya. Lalu apakah otomatis kondisi satwa liar kita turut membaik?
Jika pada tahun 2015 PROFAUNA mencatat sedikitnya ada 67 kasus perdagangan satwa liar yang dimuat di media massa, di tahun 2016 ini justru meningkat. PROFAUNA mencatat bahwa sejak tanggal 1 Januari 2016 hingga hari ini setidaknya ada 90 kasus perdagangan satwa liar dimuat di media massa, meningkat cukup tajam (hampir 35%) dibandingkan tahun sebelumnya. Tentunya ini bukan sebuah angka yang patut dibanggakan.
Angka Perdagangan tinggi, volume rendah
Tahun 2015 menjadi saksi atas beberapa kasus perdagangan dan penyelundupan satwa liar dengan volume yang fantastis. Salah satunya adalah terungkapnya upaya penyelundupan 96 ekor trenggiling hidup, 5.000 kg daging trenggiling beku, dan 77 kg sisik trenggiling yang di Medan pada bulan April 2015. Lalu ada juga penyelundupan 1 kontainer berisi 40 feet cangkang Kerang Kepala Kambing senilai Rp 20,422 miliar yang digagalkan petugas pada bulan Agustus 2015 di Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Meski lebih banyak secara kuantitas, tahun 2016 kasus-kasus yang ada cenderung bervolume rendah dan per kasusnya melibatkan spesies yang bervariasi. Contohnya kasus perdagangan aneka produk satwa liar di Singkawang, Kalimantan Barat pada bulan April 2016. Dari tersangka, petugas menyita 3 tengkorak Orangutan, 2 tengkorak Beruang Madu, 2 paruh Enggang, 2 tanduk Kijang, 1 tulang tangan Beruang Madu, 24 kuku Beruang Madu, 1 lembar utuh sisik Trenggiling, 1 awetan anak Trenggiling, 1 awetan Penyu Sisik, 1 buah karapas Penyu Hijau, 1 Kima, 1 Kerang Mutiara, 9 Tanduk Rusa, 111 duri Landak.
Kasus lain yang sempat 'geger' di kalangan aktivis perlindungan satwa liar adalah terungkapnya keterlibatan oknum pejabat Kebun Binatang Bandung dan Taman Satwa Cikembulan Garut dalam jaringan perdagangan satwa liar di bulan November 2016.
Dari proses penyidikan, petugas mengamankan berbagai satwa yang telah diawetkan seperti 4 harimau sumatra, 1 kucing hutan, 2 beruang madu,1 potong kepala beruang madu, 1 lembar potongan kulit harimau sumatera, 1 potong ekor harimau, 2 potong telapak kaki harimau, 9 buah kuku beruang, 3 ekor kulit kancil, 1 ekor kulit kucing hutan, 5 ekor burung cendrawasih, 2 ekor burung nuri kepala hitam, 2 ekor burung elang brontok fase gelap, 3 kulit burung kakatua jambul kuning, 1 ekor kulit burung kasuari, 2 ekor kulit owa jawa, dan masih banyak lagi.
"Secara kasar dapat disimpulkan bahwa banyak di antara para penjahat ini yang berada di level pengepul tingkat atas yang berjaringan luas, bukan lagi pedagang spesialis jenis satwa tertentu yang berada di level bawah dan berhubungan langsung dengan pemburu," ungkap Swasti Prawidya Mukti, juru kampanye PROFAUNA.
"PROFAUNA mengapresiasi semua usaha yang dilakukan pihak aparat terkait, tapi semua itu masih jauh dari cukup untuk memutus rantai perdagangan satwa liar baik domestik maupun antarnegara", tegas Swasti.
Terbang Menuju Kepunahan
Ditinjau dari jenis satwa yang paling banyak diperdagangkan, data yang dihimpun PROFAUNA menunjukkan bahwa burung adalah kelompok satwa dengan jumlah kasus perdagangan tertinggi. Kelompok ini meliputi jenis burung paruh bengkok (nuri dan kakatua), jenis-jenis burung elang, jenis-jenis burung rangkong, hingga burung berkicau.
Dari segi volume, peringkat teratas diduduki oleh burung berkicau. Sepanjang tahun 2016 ribuan burung berkicau seperti Murai, Cucak Ijo, Kacer, Pleci, dan lain-lain.
"Maraknya hobi memelihara dan kompetisi burung berkicau, terutama di Jawa, menjadikan burung-burung berkicau rawan diburu dan diperdagangkan. Ini sangat miris mengingat sangat banyak di antaranya yang tidak dilindungi oleh undang-undang," ujar Made Astuti, pengamat dan pemerhati burung senior PROFAUNA.
"Jika kita berkunjung ke pasar-pasar burung di Jawa, itu ada banyak sekali burung yang didatangkan dari Sumatera dan Kalimantan, karena di Jawa mereka sudah berkurang drastis populasinya", tambah Made yang pernah melakukan penelitian burung di alam.
Selain burung berkicau, perbaikan nasib juga tak kunjung dialami oleh jenis burung elang dan burung paruh bengkok yang sejak sekian lama semakin mengkhawatirkan keberadaannya.
Ekawati Ka'aba, koordinator PROFAUNA Representatives Maluku Utara, menyatakan bahwa sejak tahun 1990an hingga sekarang pola-pola yang dilakukan oleh para pemburu dan penyelundup burung paruh bengkok tidak banyak berubah. Hanya saja, di beberapa tempat populasi burung nuri dan kakatua sudah sangat sedikit bahkah punah di alam, sehingga lokasi perburuan telah bergeser.
Lemahnya Penegakan Hukum
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menempuh banyak cara untuk megoptimalkan upaya perlindungan kekayaan hayati Indonesia, termasuk dengan mereformasi lembaganya. Demikian pula dengan PROFAUNA yang selalu membuka kesempatan bagi masyarakat untuk melayangkan pengaduan terkait kasus kejahatan satwa liar.
Tetapi, PROFAUNA menyesalkan fakta bahwa upaya serupa tidak dilakukan di lembaga kehakiman. Terbukti dari vonis-vonis yang dijatuhkan pihak pengadilan terhadap para pelaku kejahatan satwa liar selama tahun 2016 yang mayoritas sungguh tidak setimpal.
Selama tahun 2016, setidaknya ada 12 vonis yang dijatuhkan terhadap pelaku perdagangan dan penyelundupan satwa liar. Di antara vonis yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan satwa liar adalah dalam kasus perdagangan satwa yang diungkap aparat di Singkawang, Kalimantan Barat, yang disebutkan sebelumnya di atas. Terpidana bernama Aming hanya dihukum 9 bulan dan 10 hari penjara serta denda Rp 50 juta atas ulahnya.
Berita 'kocak' datang dari ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, dimana majelis hakim menjatuhkan vonis 2 tahun penjara dan denda sebesar Rp 100 juta, subsider 1 bulan penjara terhadap terdakwa penyelundupan 4.878 kg sirip hiu bernama Soeparli Djoko yang tertangkap di Surabaya pada bulan Februari 2016 lalu. Dalam pemberitaan di media massa, Soeparli dikabarkan justru berjoget setelah mendengar amar putusan hakim.
"Sesungguhnya terdakwa ini mempermalukan dan mengolok-olok sistem peradilan negara kita. Jika para hakim terus-menerus menjatuhkan hukuman yang rendah kepada para pelaku perdagangan satwa liar, kapan efek jera bisa dimunculkan", sesal Bayu Sandi, juru kampanye PROFAUNA yang aktif di bidang kelautan.
Perlu Partisipasi Aktif Masyarakat
Dengan kondisi pengamanan dan penegakan hukum yang carut-marut seperti saat ini, masih layakkah Indonesia disebut negara mega-biodiversity yang aman bagi satwa liar?
"Ini adalah pertanyaan bagi diri kita masing-masing. Pelestarian alam perlu sinergi dan kerja keras yang melibatkan banyak pihak, termasuk masyarakat umum," jelas Rosek Nursahid, pendiri PROFAUNA Indonesia.
Rosek menambahkan bahwa selama 22 tahun bekerja untuk isu hutan dan satwa liar, PROFAUNA banyak sekali bekerja sama dengan masyarakat. Inilah mengapa PROFAUNA telah tumbuh menjadi organisasi grassroots (akar rumput) terbesar di Indonesia di bidang perlindungan hutan dan satwa liar.
PROFAUNA berkolaborasi baik dengan masyarakat, dibuktikan dengan adanya 102 pengaduan via email yang diterima PROFAUNA terkait kasus perdagangan satwa liar, terutama di media sosial, selama tahun 2016. Selain itu PROFAUNA juga bermitra erat dengan aparat penegak hukum dan terlibat langsung dalam penanganan beberapa kasus.
"PROFAUNA medorong gerakan-gerakan individu untuk melestarikan hutan dan satwa liar, agar kita bisa bangkit kembali dan Indonesia layak disebut negara mega-biodiversity yang serius menjaga kelestarian keragaman hayati," pungkas Rosek.