Aktivis Lingkungan Dorong Peserta KTT Perubahan Iklim Ikut Selamatkan Hutan Indonesia

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi hampir setiap tahun. Kebakaran paling parah di sebagian Sumatera dan Kalimantan baru saja berlalu akhir Oktober lalu. Selama lebih dari tiga bulan masyarakat di kedua pulau itu menghirup asap akibat kebakaran yang bahkan melebihi standar berbahaya dalam Indeks Standar Pencemaran Udara ISPU. Sedikitnya 24 orang meninggal akibat asap dan penyakit terkait asap, sementara 40 juta lainnya terpapar asap selama berminggu-minggu. Terhentinya seluruh aktivitas warga diperkirakan menimbulkan kerugian hingga milyaran rupiah.

Selain karena El Nino, penyebab utama kebakaran hutan dan lahan ditengarai akibat pemberian ijin pembukaan lahan yang semena-mena.

Ketua Protection of Forest and Fauna atau Profauna Indonesia, Rosek Nursahid mendorong pemerintah melakukan moratorium ijin usaha di bidang kehutanan secara menyeluruh, serta melakukan penataan dan pengelolaan hutan secara baik untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan lagi di tahun-tahun mendatang.

"Moratorium ini memang harus dilakukan, tidak ada ijin baru untuk pembukaan hutan, baik untuk sawit atau pun HPH. Kemudian yang kedua, pemerintah harus punya posisi tawar kepada negara-negara maju mendukung upaya pelestarian hutan karena terkait dengan perubahan iklim, tetapi dukungan ini kami tidak sepakat kalau dalam bentuk uang, kami lebih mendorong dukungan ini lebih bersifat kepada pendidikan," kata Rosek.

Tidak hanya mendesak pemerintah Indonesia, Profauna juga mendesak negara-negara maju membuktikan komitmennya mendukung upaya pelestarian hutan di Indonesia untuk menekan dampak perubahan iklim. Rosek menyebut komitmen negara-negara maju dalam hal menerima produk hasil hutan asal Indonesia, akan menjadi ukuran komitmen negara-negara di dunia untuk mencegah terjadinya kerusakan alam akibat deforestasi hutan.

"Mereka tidak menerima produk-produk, yang dijamin produk itu tidak merusak hutan, nah produk itu apakah bisa produk sawit atau produk dalam bentuk kayu atau olahan yang lain. Nah sementara ini juga kadang-kadang negara maju meminta kita untuk memperbaiki hutan tapi mereka juga masih menerima produk-produk yang tidak ramah lingkungan, artinya harus ada juga kebijakan dari sudut konsumen," tambahnya.

Sementara itu Koordinator Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Jawa Timur, Muhammad Ichwan mengatakan, upaya negera-negara maju untuk mendukung pengurangan laju deforestasi hutan harus dibuktikan dengan tidak lagi menerima produk kayu yang ilegal, atau tidak memiliki sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

Menurut Muhammad Ichwan, "Nagara-negara industri besar seperti di Eropa, Australia, kemudian Amerika, harus menolak, dalam konteks sumber daya hutan, produk-produk yang masuk ke negara mereka yang tidak ada label Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) atau green product, ini dalam rangka untuk mengurangi laju deforestasi hutan di Indonesia. Karena memang Indonesia negara terbesar ketiga yang hutannya cukup luas, nah ini kalau kemudian negara-negara mereka itu tetap menerima produk-produk kayu yang tidak jelas asal usulnya, dipastikan Indonesia akan semakin rusak deforestasi hutannya."

Indonesia merupakan salah satu negara dengan luasan hutan terbesar ketiga di dunia, tetapi memiliki laju deforestasi yang tercepat di dunia. Hal ini disebabkan sistem tata kelola hutan di Indonesia yang tidak baik, serta masih maraknya praktek-praktek penebangan hutan secara liar. Langkah bersama semua negara di dunia sangat dibutuhkan, agar dampak perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan dapat diminimalisir. [pr/em]

Sumber: Voaindonesia.com, Foto: PROFAUNA

© 2003 - 2024 ProFauna Indonesia

ProFauna Indonesia (Temukan kami di Google+) adalah lembaga independen non profit berjaringan internasional
yang bergerak dibidang perlindungan dan pelestarian satwa liar dan habitatnya.